hit counter


Minggu, 07 Desember 2014

Mari Bicara Soal Merek

Mari Bicara Soal Merek 

Mari Bicara Soal Merek
Image by : Istimewa
Beberapa waktu lalu Menteri BUMN, Dahlan Iskan, memberikan merek bagi mobil listrik pesanannya: Ahmadi. Ya, mobil listrik asal Depok, Jawa Barat, tersebut diberi merek Ahmadi, sesuai dengan nama sang pencipta, Dasep Ahmadi.

Ahmadi mungkin terasa janggal di telinga untuk merek produk berteknologi tinggi. Itu karena kita beranggapan bahwa Ahmadi hanya lazim untuk nama orang.

Tetapi pada kenyataannya, banyak sekali produk yang mengangkat nama penciptanya. Sebut saja tiga produsen mobil asal Jepang, yaitu Honda, yang mengusung nama sang pencipta, Soichiro Honda; Michio Suzuki sebagai pendiri pabrik mobil dan sepeda motor Suzuki; dan raksasa otomotif dunia, Toyota, yang didirikan oleh Sakichi Toyoda. Semua mengusung nama sang pencipta, dan mereka sukses di pasar. Kesukesan serupa sebetulnya yang diharapkan Pak Menteri dengan mobil listrik Ahmadi.

Menciptakan merek tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Merek Kodak, yang merupakan pionir di dunia fotografi, misalnya, sengaja dibuat untuk tidak memiliki arti di belahan dunia mana pun, dan dalam bahasa apa pun. Kodak benar-benar tak mempunyai arti apa-apa sehingga ketika merek tersebut muncul, asosiasinya hanya semata kepada “sebuah perusahaan produsen alat-alat fotografi”.

Lain halnya dengan Kentucky Fried Chicken, yang sejak awal mengusung kata-kata “fried chicken” untuk menegaskan jenis bisnis yang dijalani. Maksudnya, bila kata “Kentucky” berdiri sendiri, maka merek itu tidak memberi penjelasan sama sekali tentang jenis bisnis yang dijalani. Hal itu kira-kira serupa dengan merek “Bebek Goreng Pak X” yang menjelaskan bahwa bebek goreng adalah bisnis yang dijalankan Bapak X.

Hal yang penting pula diingat dalam membuat merek adalah konsistensi. Hal itu kerap dilupakan para pengusaha, terutama pada tingkat usaha kecil dan menengah (UKM) dan mikro. Pasalnya, kesadaran tentang pentingnya merek belum terbentuk sehingga pemilihan merek cenderung asal-asalan. Akibatnya, saat usaha berkembang, ternyata merek yang dipilih memiliki ketidaksempurnaan di sana-sini, bahkan bukan tidak mungkin, sudah dimiliki atau dipatenkan orang lain. Dan pada akhirnya, mengharuskan pengusaha mengganti merek yang sudah susah payah dibuat dan dibangun.

Keadaan itu sungguh kontraproduktif karena energi yang seharusnya dapat digunakan untuk mengembangkan usaha, menjadi terjebak di titik awal, yaitu membuat merek kembali. Belum lagi pengusaha harus kembali melakukan pengenalan produk dengan merek baru dan sebagainya.

Untuk itu, biasakanlah berpikir besar, walaupun usaha Anda masih kecil. Buatlah nama perusahaan terpisah dengan nama produk. Misalnya, PT A dengan merek produk W, X, dan Y. PT A bisa mengklaim diri sebagai holding company, sementara merek W, X dan Y sebagai produk atau diversifikasi usaha.

Atau sebaliknya, setelah memiliki produk W, X dan Y, buatlah perusahaan untuk menaungi. Lalu, jangan segan mengurus hak cipta merek. Dan yang paling penting, jaga reputasi perusahaan dan merek sekuat tenaga. Ibaratnya, sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.

Kalau Anda ingat iklan di teve: “Satu lagi dari Mayora”, itu adalah bentuk komunikasi massa yang sangat efektif untuk mengingatkan pasar bahwa perusahaan tersebut merupakan jaminan mutu, apa pun merek dan produk yang dijual.
Add to Cart

0 komentar:

Posting Komentar